Minggu, 17 Maret 2013

Megawati, sosok pelindung konglomerat hitam ?


BLBI dan "Release and Discharge"


Release and Discharge (R & D) yang arti harafiahnya adalah bebaskan dan bayar utang merupakan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah Megawati kepada para obligor hitam untuk mengembalikan cicilan kerugian negara dengan potongan dari 16-36 persen, yang diatur dalam MSAA (Master of Acquisition and Agreement) dan merupakan perjanjian penyelesaian utang di luar pengadilan (settlement out of court).

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (Kwik Kian Gie), sebagai anggota Kabinet dalam pemerintahan waktu itu, sangat menentang kebijaksanaan "R & D" yang berlandaskan MSAA dan tidak sesuai dengan sistem hukum kita, karena perjanjian perdata tidak bisa meniadakan pelanggaran pidana yang diatur oleh UU. Bahkan Kwik Kian Gie minta agar penerbitan Release & Discharge diusut tuntas tentang kemungkinan permainan di balik kebijakan tersebut terhadap konglomerat. Beberapa pakar hukum perbankan dan ekonomi dari INDEF (Institute for Development of Economic and Finance) mendesak Pemerintah membatalkan keputusan soal penetapan prosedur pemberian "R&D".

Seyogyanya Kejaksaan tidak merujuk kepada "R & D" yang kontroversial dan bersifat Keperdataan (privaatrechtelijk] tersebut, tetapi fokus pada pelanggaran pidana terhadap para obligor penunggak utang triliunan rupiah dalam kasus BLBI, yang dengan sengaja selama puluhan tahun menggunakan aset negara dan enggan menyelesaikannya, sampai diberikan semacam "pengampunan" berupa "Release and Discharge" tadi berdasarkan MSAA.

Ketentuan MSAA ditandatangani pada 1998, yang kemudian diatur dalam Inpres No. 8/2002, namun jangan dianggap Inpres ini dapat menghilangkan tuntutan pidana kepada obligor, tetapi hanya terhadap gugatan perdata saja, karena presiden tidak berhak mencampuri proses teknis penegakan hukum kecuali wewenangnya yang tersebut di dalam UUD 1945 menyangkut grasi, abolisi, amnesti atau remisi yang hanya dapat diterapkan bila kasus telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Akuntabilitas Pemerintah

Ada dua ketentuan hukum yang diabaikan bila tidak melakukan tindakan litigasi atau tindak lanjut terhadap kasus BLBI. Pertama Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31/1999, Pasal 4 yang menegaskan, "Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3. Kedua, TAP MPR-RI No.X/2001 huruf C tentang Ekonomi dan Keuangan yang menugaskan Pemerintah melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku yang terbukti secara hukum terlibat dalam penyimpangan BLBI.

Kebijakan diskriminatif "R & D" yang menguntungkan para obligor triliunan rupiah yang diberikan potongan pembayaran dan bunga rendah tersebut, oleh para pakar ekonomi termasuk internal pejabat pemerintah dianggap mengurangi akuntabilitas pemerintah di masyarakat bisnis internasional, terutama di mata investor asing yang memerlukan kepastian hukum untuk investasi mereka.

Dengan membebaskan para obligor dengan fasilitas "R & D" dari tuntutan pidana akan merusak sistem keadilan hukum (legal justice) an sich maupun merusak rasa keadilan masyarakat (social justice) yang dengan transparan masyarakat memantau bahwa ada triliunan rupiah yang belum/tidak dikembalikan mereka dan telah dinikmati puluhan tahun. Sedang di NTT dan Sulsel, ada ibu dan anak-anaknya mati kelaparan.

Penghentian penyelidikan bukan harga mati. Perlu disimak kembali adagium dari kolumnis David Mc.Casland yang mengatakan "Unrestrained corporate greed is greater threat than terrorism," yang bermakna betapa berbahayanya suatu badan usaha yang tidak terkendali dalam ketamakannya karena dapat mengancam kepentingan umum melebihi bahaya terorisme.

Penulis adalah pengamat hukum, mantan Jam Datun

source : http://forum.detik.com/megawati-sosok-pelindung-konglomerat-hitam-t102969.html

Kasus BLBI jalan di tempat


Kasus mega skandal Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan Wakil Presiden Boediono, terbengkalai dan tidak tersentuh oleh hukum.

Aktivis Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) Wenry Anshory Putra berharap, agar kasus yang melibatkan Boediono ini segera diusut, karena jika tidak segera diusut, mereka mengancam akan turun ke jalan, pada Senin 18 Februari 2013.

“Nanti malam, kami akan menyebarkan melalui fax, yang ditujukan ke organisasi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di universitas diseluruh Indonesia dan Insya Allah pertengahan Maret, kami akan mendorong pertemuan gerakan mahasiswa tapi masih belum tahu apakah di Jakarta atau Bandung,” ucapnya saat mengisi acara Keterlibatan Boediono Dalam Kasus BLBI, di daerah Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (17/2/2013).

Menurutnya, turun ke jalan adalah cara satu-satunya, ketika cara yang lebih kooperatif tidak didengar lagi. 

“Ini adalah fakta hukum yang sangat jelas. Jika tahun 2012 kami memberikan kartu kuning kepada SBY, di tahun 2013 ini bukan kartu kuning lagi, sudah kartu merah yang kami berikan. Cukup sudah bagi kami, kami sudah jenuh menonton televisi, melihat berita korupsi dan sebagainya,” pungkasnya.

Seperti diberitakan Sindonews sebelumnya, pegiat Forum Pengadilan Rakyat (FKR) Erlangga Mohammad mengatakan, saat ini sudah ada fakta baru yang terkait dengan kasus BLBI.

"Fakta ini jelas tertulis dalam Putusan Kasasi MA RI kok, Nomor 977 sama 979K/Pid/2004. Terdakwa Paul Soetopo, Hendrobudiyanto, Heru Soepratomo bersama Boediono," tegasnya, dalam acara Keterlibatan Boediono Dalam Kasus BLBI, di daerah Cikini, Jakarta Pusat. 
source : Sindonews.com 

Rabu, 10 Februari 2010

PKS Golkar PDIP Demokrat tidak mendukung ungkap BLBI

Usul hak angket BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebagai lanjutan interpelasi BLBI berakhir antiklimaks. Fraksi-fraksi besar di parlemen yang semula ngotot kemarin justru menolak ikut menyetujui hak konstitusional dewan untuk melakukan investigasi itu.

Minggu, 07 Februari 2010

Demokrat akan Ajukan Angket BLBI

Keinginan Partai Demokrat menggulirkan pengajuan hak angket DPR untuk menyelidiki kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hendaknya tidak hanya dijadikan alat kompromi politik.

Sabtu, 30 Januari 2010

Wakil Rakyat Penerima Aliran Dana BI

Ini Dia Wakil Rakyat Penerima Aliran Dana BI

Kompas,  28 Juli 2008

Berikut ini adalah nama-nama anggota Komisi IX (Komisi Perbankan dan Keuangan) DPR periode 1999-2004 yang menerima aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) seperti diungkap tersangka Hamka Yamdhu (anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (28/7).

Suap BLBI; Surat Panggilan Nursalim Dicegat di Tengah Jalan

Tim pemeriksa internal Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengusut skandal suap Rp 6 miliar jaksa Urip Tri Gunawan menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses penyelidikan BLBI Sjamsul Nursalim. Salah satunya, surat panggilan pemeriksaan untuk bos Grup Gadjah Tunggal itu tak pernah dikirim. Konglomerat yang kini berada di Singapura itu pun akhirnya memang tak tersentuh.

PDI-P Dituding Terima Rp 482,5 Milyar

Jakarta, Bernas
Tudingan skandal Bank Bali (BB) yang berhasil mengeruk dana Rp 546  milyar dan diduga  telibatkan elit pemerintahan, mulai dari Golkar,  anggota DPR, menteri hingga Presiden BJ habibie bisa jadi memang  terkait dengan politik. Tuduhan serupa kini menimpa PDI-P yang disebut  menerima dana Rp 482,5 milyar dari sejumlah konglomerat untuk mengegolkan Megawati menjadi presiden.    

Anthony Salim Diperiksa 12 Jam di Kejagung

Soal pemeriksaan Anthony Salim, Kejagung terkesan enggan blak-blakan. Saat konglomerat ini tiba di Kejagung pun tidak ada jurnalis yang sukses berpapasan dengannya.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung M Salim membenarkan kabar Anthony Salim telah tiba di Kejagung dan sedang diperiksa tim jaksa penyelidk.

Aliran dana krisis BLBI

Jika menengok latar belakang krisis yang melanda tanah air yang dimulai pada September 1997, niat pemerintah dan Bank Indonesia untuk memberikan bantuan dana BLBI adalah mulia. Yakni untuk melokalisir krisis hanya pada bank-bank tertentu, sehingga dampak sistemik bisa diminimalisir. Karena itu disalurkanlah BLBI.

KISRUH BLBI

Genap 11 tahun sudah Indonesia melewati krisis multidimensi sejak dimulainya pada 1997, setelah selama masa krisis, ekonomi, sosial dan politik nasional menjadi porak poranda. Kini sisa-sisa krisis itu belum hilang baik dalam benak rakyat maupun dalam beban APBN, termasuk masalah penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) per 29 Januari 1999 sebesar Rp144,54 triliun.