Sabtu, 30 Januari 2010

Audit BPK Tahun 2000 - BLBI

Audit BPK Tahun 2000
Tentang Penyaluran dan Penggunaan BLBI
Audit BPK Tahun 2000 merupakan salah satu tonggak penting pengungkapan penyelewengan dalam penyaluran dan penggunaan BLBI. Berikut adalah intisari temuan tersebut:
SIARAN PERS BPK-RI TENTANG
HASIL AUDIT INVESTIGASI ATAS PENYALURAN DAN PENGGUNAAN BLBI
LATAR BELAKANG
Memenuhi permintaan DPR-RI sebagaimana tertuang dalarn Surat Ketua DPR-RI Nomor KS.021032/DPR Rl/2000 tanggal 6 Januari 2000 Perihal : "Tindaklanjut hasil audit BPK atas Neraca Awal BI", BPK RI telah selesai melakukan audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima, yaitu 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL). Laporan audit tersebut baru saja disampaikan oleh Pimpinan BPK-RI kepada Pimpinan DPR-RI. BPK Rl dalam melakukan audit ini bekerjasama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam kerja sama tersebut. BPK Rl melakukan audit atas penyaluran BLBI kepada 48 bank pada Bank Indonesia, penggunaan BLBI pada 5 BTO dan 15 BDL. Sedangkan BPKP melakukan audit atas penggunaan BLBI pada 10 BBO dan 18 BBKU.
Agar audit investigasi dapat mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara, maka didalam setlap tahap audit, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan, BPK Rl melakukan konsultasi dengan pihak Kejaksaan Agung. Audit dilaksanakan sejak akhir Februari 2000 s.d. 31 Juli 2000, dengan periode audit sejak bank-bank menerima BLBI s.d. 29 Januari 1999. Audit ini diarahkan pada penyaluran dan penggunaan BLBI yang telah dialihkan menjadi kewajiban pemerintah per posisi tanggal 29 Januari 1999.
HASIL AUDIT INVESTIGASI
Pokok-pokok kesimpulan BPK Rl, berdasarkan hasil audit tersebut adalah sebagai berikut:
A. Kelemahan Sistem Pembinaan dan Pengawasan Bank.
1. Penyimpangan Bl dalam menyalurkan BLBI selain karena faktor ekstern, yaitu krisis moneter, juga tidak terlepas dari kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank oleh Bl pada waktu yang lalu.
2. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi, yang akhirnya tergantung pada bantuan likuiditas dari Bl, dalam berbagai bentuk/skim.

3. Pada waktu-waktu yang lalu, Bl tidak legas dalam menerapkan ketentuan tentang prudential banking yang sudah ditetapkan sendiri oleh Bl.
4. Kelemahan lain dari sistem perbankan adalah jumlah bank dan cabang bank yang harus diawasi tidak seimbang dengan jumlah pengawas bank yang ada di Bl, sehingga frekuensi pemeriksaan langsung (on site supervision) yang semestinya sekurang-kurangnya setahun sekali tidak dapat terlaksana.
5. Selain itu laporan-laporan berkala yang selama ini dijadikan dasar penilaian kinerja dan kesehatan bank, ternyata tidak menggambarkan kondisi senyatanya. Banyak bank melakukan rekayasa laporan, sehingga penilaian tingkat kesehatan bank tidak dapat dilakukan secara obyektif.
6. Laporan-laporan berkala dari bank-bank tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Pengujian atas kebenaran laporan tersebut baru dilakukan manakala Bl, melakukan pemeriksaan langsung (on site supervision), yang frekuensinya relatifjarang. Bahkan ada beberapa bank yang dalam beberapa tahun tidak dilakukan pemeriksaan langsung. Dugaan bahwa laporan berkala dari bank-bank tidak dapat dipercaya, terbukti pada saat dilakukan pemeriksaan oleh Bl dan due diligence oleh BPPN dalam rangka program penyehatan bank. Laporan due diligence tersebut banyak mengungkapkan berbagai pelanggaran dan rekayasa transaksi yang dilakukan oleh bank dalam kurun waktu lama, narnun tidak terdeleksi oleh sistem pengawasan bank yang diterapkan oleh BI. Pelanggaran yang paling umum adalah rekayasa transaksi untuk menghindari BLBI, dengan berbagai modus operandinya.
B. Kelemahan Manajemen PenyaluranBLBI.
1. Kekeliruan BI dalam memberikan bantuan likuiditas yang akhirnya disebut sebagai BLBI, adalah pada saat BI tidak melakukan sanksi stop kliring kepada bank-bank yang rekening gironya di BI bersaldo negatifdan tidak bisa ditutup sesuai dengan ketentuan. BI pada saat itu tidak berani melakukan stop kliring, karena khawatir akan terjadi efek domino. Kekhawatiran ini merupakan suatu teori yang belum pernah teruji kebenarannya. Permasalahan tersebut menjadi besar, karena sejak awai Bl tidak tegas dalam menerapkan sanksi stop kliring. Beberapa bank yang sudah lama bersaldo debet/overdraft narnun tidak dilakukan stop kliring tanpa alasan yangjelas. Sikap Bl yang tidak tegas tersebut dimanfaatkan oleh bankir nakal, sehingga mereka terus bersaldo debet. Selain itu Direksi Bl pernah membuat keputusan yang kurang berhati-hati, yaitu bersikukuh tidak akan melakukan stop kliring, meskipun mengetahui bahwa overdraft suatu bank sudah semakin membesar melebihi nilai assetnya. Salah satu keputusan yang akhirnya menjadi Bumerang adalah keputusan pada pertenganan Agustus 1997, yang menyatakan bahwa bank-bank yang bersaldo debet rekeningnya di BI, diperbolehkan untuk tetap ikut kliring, melakukan penarikan tunai, melakukan transfer dana ke cabang-cabang, sampai kondisi pasar uang mereda. Keputusan ini tidak menyebut balas waktu dan batas maksimal bagi suatu bank untuk overdraft. Keputusan tersebut nampaknya bocor di kalangan bankir yang nakal, sehingga mereka beramai-rarnai terus melakukan overdraft, bahkan sampai melebihi jumlah asset bank yang bersangkutan.
2. Hakekat pemberian BLBI adalah untuk menanggulangi bank-bank yang mengalami kesulitan ikuiditas akibat di-rush oleh nasabahnya. Narnun karena

penyaluran BLBI tersebut dilakukan melalui mekanisme kliring, maka BI sesungguhnya tidak dapat mengetahui apakah benar dana BLBI digunakan sepenuhnya untuk menanggulangi rush, dan bukan digunakan untuk kepentingan grup pemilik bank.
3. Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar-menukar warkat dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu lintas giral, berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
4. Pemberian BLBI tidak terlepas dari program penjaminan kewajiban bank urnum sebagaimana ditetapkan dalam Keppres Nomor 26 tahun 1998. Narnun dalam prakteknya, program penjaminan yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah sejak 26 Januari 1998. yang diikuti dengan pembentukan BPPN, ternyata tidak dimanfaatkan oleh Bl dan BPPN, meskipun program penjaminan sudah disusun perangkat lunaknya sejak 6 Maret 1998 berupa SKB Direksi Bl dan Ketua BPPN.
5. Bank-bank yang tidak mampu membayar kewajiban yang jatuh tempo tidak diarahkan untuk memanfaatkan program penjaminan. Bl tetap bertahan bahwa semua kewajiban bank diselesaikan melalui mekanisme kliring, meskipun bank- bank sudah overdraft dalam jumlah yang sangat besar. Padahal Bl sadar bahwa melalui mekanime kliring, BI dan BPPN tidak mungkin mengetahui satu per satu transaksi yang dibayar oleh bank, karena jumlah transaksi yang diselesaikan melalui kliring mnencakup ratusan ribu warkat setiap hari.
6. Para bankir juga sudah bargng tentu enggan untuk memanfaatkan program penjaminan, sebab mereka berpikir untuk apa repot-repot melalui program penjaminan, yang mengharuskan bank mendaftarkan dulu setiap kewajiban dalam jumlah tertentu dan selanjutnya jika akan dibayar oleh BPPN, harus diverifikasi lebih dulu, untuk memastikan bahwa kewajiban tersebut adalah jenis kewajiban yang dijamin pemerintah. Mereka tentu lebih memilih menyelesaikan kewajiban banknya melalui mekanisme kliring, walaupun saldo giro banknya sudah negatif dalam jumlah besar, karena melalui mekanisme kliring lebih mudah, lebih cepat, tanpa diverifikasi, tidak perlu mendaftarkan lebih dulu dan sebagainya.
BPK RI berkesimpulan bahwa salah satu penyebab membengkaknya BLBI adalah karena BI dan BPPN tidak segera melaksanakan program penjaminan secara konsisten.
C. Penyaluran BLBI Berpotensi Menjadi Kerugian Negara.
Dari hasil audit investigasi terhadap penyaluran BLBI sebesar Rp.144.536.086 juta, kami menemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp.138.442.026 juta atau 95,78 % dari total BLBI yang disalurkan posisi tanggal 29 Januari 1999. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp.144.536.086 juta (posisi per 29 Januari 1999).
2. Jumlah tersebut saat ini telah menjadi beban pemerintah dan oleh karenanya, pemerintah setiap tahun harus membayar bunga kepada BI 3 % per tahun.

3. Sampai dengan saat ini, bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah.
4. Apabiia BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi kewajiban pemerintah, maka sesuai dengan Pedoman Akuntansi BI, untuk BLBI kepada BBO/BBKU/BDL akan disisihkan sebagai kerugian sebesar 100 % dan untuk BLBI kepada BTO sebesar 2- 20%.
5. BPPN dan Tim Likuidasi Bank-bank Dalam Likuidasi saat ini sedang melakukan upaya pengembalian (recovery) terhadap BLBI yang telah disalurkan kepada bank-bank penerima.
6. BLBI kepada BTO telah/akan dikonversi menjadi penyertaan (equity) pemerintah. Pengembalian BLBI tersebut sangat tergantung dari hasil divestasi yang akan dilakukan.
Mengingat proses recovery yang dilakukan oleh BPPN dan Tim Likuidasi Bank-bank Dalam Likuidasi masih berlangsung, maka jumlah kerugian negara yang pasti, tergantung hasil proses recovery tersebut. Penyimpangan dalam penyaluran BLBI meliputi :
1. Penyimpangan dalam penyaluran Saldo Debet kepada 10 BBO, 1 BTO , dan 13 BDL.
2. Penyimpangan dalam penyaluran Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK) kepada 8 BBO, 3 BTO, dan 11 BBKU.
3. Penyimpangan dalam penyaluran Fasilitas Saldo Debet kepada 3 BBO, 2 BTO, dan 11 BBKU.
4. Penyimpangan dalam penyaluran New Fasilitas Diskonto (Fasdis) kepada 3 BTO, dan 2 BBKU.
5. Penyimpangan dalam penyaluran Dana Talangan Rupiah kepada 2 BDL.
6. Penyimpangan dalam penyaluran Dana Talangan Valas kepada 5 BBO, 3 BTO, 5BBKU, dan 3 BDL.
D. PenyimpanganDalam PenggunaanBLBI.
Dari total penerimaan BLBI pada 48 bank yang diinvestigasi, yaitu sebesar Rp.144.536.086 juta, telah ditemukan berbagai pelanggaran dari ketentuan yang berlaku dalam penggunaan BLBI. Penyimpangan yang ditemukan tersebut dapat dikiasifikasikan ke dalam pelbagai jenis penyimpangan jika ditinjau dari tujuan penggunaannya.
Adapun jumlah penyinnpangan dalam penggunaan BLBI sejak rekening giro bank di Bl bersaldo debet sampai dengan 29 Januari 1999 adalah sebesar Rp.84.842.164 juta atau 58,70 % dari jumlah BLBI per 29 Januari 1999 sebesar Rp. 1 44.536.086 juta. Penyimpangan dalam penggunaan BLBI tersebut meliputi :
1. BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjamanipinjaman subordinasi.
2. BLBI digunakan untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank urnumyang tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazirn untuktransaksi sejenis.
3. BLBI digunakan untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait.
4. BLBI digunakan untuk transaksi surat berharga.

5. BLBI digunakan untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.
6. BLBI digunakan untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss.
7. BLBI digunakan unluk membiayai placement baru di PUAB.
8. BLBI digunakan untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran
9. tarik dari komitmen yang sudah ada.
10. BLBI digunakan untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen personil baru, peluncuran produk baru, dan penggantian sistembaru.
11. BLBI digunakan untuk membiayai over head bank urnum.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam penyaluran BLBI oleh Bank Indonesia dan penggunaan BLBI oleh bank-bank penerima terdapat penyimpangan yang menimbulkan sangkaan tindak pidana dan atau perbuatan yang merugikan keuangan negara. Oleh karena ada sangkaan tindak pidana, maka BPK RI juga memberitahukan hasil pemeriksaan BLBI tersebut secara lengkap kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
E. PenyelesaianKewajiban BLBI
Mengingat permintaan DPR-RI adalah untuk melakukan audit atas penyaluran dan peggunaan BLBI maka ruang lingkup audit investigasi yang dilakukan oleh BPK RI tidak termasuk penyelesaian kewajiban yang sedang dilakukan oleh BPPN. Narnun apabila diminta untuk melakukan audit lebih lanjut terhadap penyelesaian kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada Pemerintah c/q BPPN, BPK RI siap untuk melaksanakan.
Jakarta, 4 Agustus 2000
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Sumber: www.bpk.go.id

0 komentar:

Posting Komentar