Sabtu, 30 Januari 2010

KISRUH BLBI

Genap 11 tahun sudah Indonesia melewati krisis multidimensi sejak dimulainya pada 1997, setelah selama masa krisis, ekonomi, sosial dan politik nasional menjadi porak poranda. Kini sisa-sisa krisis itu belum hilang baik dalam benak rakyat maupun dalam beban APBN, termasuk masalah penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) per 29 Januari 1999 sebesar Rp144,54 triliun.


Dana sebesar itu tersalur ke 48 bank yang terdiri atas kelompok 16 Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp11,89 triliun, 10 Bank Beku Operasi (BBO) sebesar Rp57,69 triliun, lima Bank Take Over (BTO) sebesar Rp57,64 triliun, dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sebesar Rp17,32 triliun. (Rekomendasi BPK atas hasil audit investigatif penyaluran dan penggunaan dana BLBI).

Tarik ulur persoalan BLBI tak lepas dari mindset atau cara pandang persoalan itu oleh para pelaku sekaligus pengambil keputusan, yang kurun waktunya berbeda, berhadapan dengan komponen rakyat yang menanggung beban bunga, yang kurun waktunya juga berbeda. Ditambah lagi persoalan audit atas penyaluran dan penggunaan BLBI, serta settlement atas beban utang BLBI kepada pemegang saham yang saat ini ada tujuh jenis. Sehingga wajar bila polemik BLBI hingga kini tak berkesudahan. BLBI bak bola liar, selalu dijadikan komoditas politik paling mujarab, terutama menjelang dan pasca pergantian pimpinan nasional.

 Multi tafsir

Oleh karena kurun waktu yang memandang berbeda, maka wacana yang muncul pun merepresentasikan wawasan dan kepentingan para pihak yang ada dalam kurun waktu tersebut. Baik itu pejabat penegak hukum, pejabat pelaksana, pengamat, hingga para politisi. Secara teknis, perbedaan itu bisa difahami mengingat BLBI sendiri telah menjadi persoalan yang sangat kompleks, baik regulasi, periodesasi penyaluran, penggunaan, maupun audit atasnya, sehingga bisa difahami kalau kemudian menimbulkan multi tafsir. Itu sebabnya BLBI menjadi sangat unik lantaran difahami oleh multi profesi, multi ormas, multi ras dan multi generasi.

Tepat 10 tahun krisis, wacana pelanggaran dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI serta penyerahan aset (settlement asset) kembali mengemuka. Adalah praktisi hukum senior, Kartini Mulyadi yang mengisyaratkan adanya ketidakberesan antara perikatan hukum penyerahan aset (MSAA, MRNIA, maupun APU) dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), PriceWaterhouseCoopers, Lehman Brothers, Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG), Credit Suisse First Boston (CSFB), PT Danaresksa dan PT Bahana Pengembangan Usaha Indonesia.

Khusus konsultan penilai yang pernah dilibatkan dalam menilai aset Grup Salim, antara lain, KPMG, Lehman Brothers, Merril Lynch, dan JP Morgan. Dari dalam negeri, yang pernah dilibatkan menjadi appraisal atau konsultan penilai aset Grup Salim adalah dua BUMN, yakni PT Danareksa dan PT Bahana.

Disamping juga laporan verifikasi konsultan hukum Kertopati, Muchtar dan Rekan yang ditunjuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang menyebutkan nilai jaminan yang diserahkan Bank Central Asia (BCA) yang diserahkan Bank Indonesia (BI) kepada BPPN hanyalah Rp5,61 triliun atau 21,09% dari jumlah BLBI yang diterima sebesar Rp26,59 triliun.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia sendiri melakukan penyidikan dan pengkajian ulang atas segala perikatan antara pemegang saham bank, obligor, dan pihak terutang dengan pejabat pengambil keputusan yang menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL), bahkan surat Release and Discharge (R&D).

Tak kurang 35 Jaksa berprestasi dilibatkan dalam Tim Penanganan Kasus BLBI, tugasnya menangani kasus hukum atas bail out persoalan privat kepada publik itu. (Bandingkan dimasa Jaksa Agung Marzuki Darusman yang melibatkan 225 Jaksa unggulan di pusat dan di daerah, namun ujung-ujungnya kasus BLBI tetap melandai atau tak memuaskan).

Ada kelompok penekan (pressure group) semisal 14 ormas Islam dengan tekad ’Jihad Melawan Koruptor BLBI’, Brigade Pemburu Koruptor (BPK) BLBI. Niat mereka sama, mengungkap sesuatu yang masih disembunyikan dalam kasus BLBI.

Dukungan politis pun mengalir, paling tidak delapan parpol mendukung adanya interpelasi BLBI. Kedelapan parpol itu adalah PAN, PPP, PBR, PKS, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, Partai Demokrat dan PDS. Tapi ujung dari interpelasi ini pun tak memuaskan. Karena itu sejumlah anggota dewan meningkatkan tekanan dengan berupaya menggalang hak angket.

Tidak hanya berhenti disitu, dukungan terus mengalir dengan adanya usulan untuk pembentukan Densus 88 untuk meringkus ‘maling’ BLBI. Pertimbangannya, Densus 88 selama ini terlihat profesional dalam mencokok para teroris, para ‘maling’ BLBI tak ubahnya adalah teroris dalam sektor perbankan. Karena itu pembentukan Densus 88 BLBI menjadi sebuah keharusan sejarah.

Pendek kata, ada sesuatu yang janggal dalam penyaluran, penggunaan dan penyelesaian atas BLBI ini. Saat artikel ini ditulis, dukungan terhadap penegakkan hukum atas penyaluran dan penggunaan dana BLBI yang dikomandani langsung Jaksa Agung Hendarman Supandji semakin meluas. Seolah tak terbendung, bak bola salju dimusim dingin.

Namun setelah melewati masa delapan bulan penyelidikan, Jaksa Agung menyimpulkan tak ada unsur melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Celakanya dua hari setelah pengumuman itu disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap tangan Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima dana tunai sebesar US$660 ribu dari orang dekat Sjamsul Nursalim, yakni Artalyta Suryani.

Saat buku ini ditulis, dua pejabat Kejakgung, yakni Kemas Yahya Rachman dan M. Salim, dinonaktifkan sementara sebagai bentuk tanggung jawab Jaksa Agung Hendarman Supandji. Tapi publik sudah terlanjut tidak percaya, bahkan kendati Jaksa Agung diberhentikan sekalipun.

Begitulah cara Allah, ketika ada tangan-tangan besar berusaha menyembunyikan kasus BLBI, selalu ada tangan yang maha besar yang mengungkap dengan caranya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar