Sabtu, 30 Januari 2010

Aliran dana krisis BLBI

Jika menengok latar belakang krisis yang melanda tanah air yang dimulai pada September 1997, niat pemerintah dan Bank Indonesia untuk memberikan bantuan dana BLBI adalah mulia. Yakni untuk melokalisir krisis hanya pada bank-bank tertentu, sehingga dampak sistemik bisa diminimalisir. Karena itu disalurkanlah BLBI.


Argumentasi lain, jika bank-bank yang mengalami saldo debet atau rekening merah di Bank Indonesia tidak dibantu, maka paling tidak dibutuhkan dana sekitar Rp600 triliun lebih untuk membiayai krisis saat itu. Dana pihak ketiga yang berpotensi di-rush pada sektor perbankan sebesar Rp454,4 triliun (Desember 1997) atau Rp680,2 triliun (Desember 1998), jauh lebih besar dari jumlah BLBI yaitu Rp48,8 triliun (Desember 1997) atau Rp147,7 triliun (Desember 1998). (http://www.bi.go.id/ : tengok masalah BLBI).

Kenyataannya, setelah pemerintah dan Bank Indonesia akhirnya membantu, jumlah dana yang dikeluarkan untuk membantu perbankan nasional dalam bentuk obligasi rekapitalisasi mencapai Rp645 triliun. Dari jumlah tesebut, sebesar Rp144,54 triliun dalam bentuk obligasi BLBI.

Mengenai jumlah BLBI, posisi Desember 1998 mencapai Rp147,74 triliun. Pada saat dilakukan ‘kesepakatan’ bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 6 Februari 1999, posisi BLBI direvisi menjadi Rp144,54 triliun.

Sementara, hasil audit investigasi BPK menunjukkan nilai komersial dari jaminan aset para pemilik bank yang bermasalah dan para obligor, yang kemudian dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ternyata hanya sebesar 8,54% atau ekuivalen dengan Rp12,35 triliun.

Pada angka-angka inilah terjadi multi tafsir, baik dari segi penyaluran, penggunaan, maupun penyelesaian, baik dalam bentuk uang tunai, saham di perusahaan, maupun dalam bentuk aset lainnya.

Ada yang beranggapan dana BLBI adalah sejenis penjarahan kekayaan nasional oleh para konglomerat dan dibantu pejabat, ada yang memberi titel ini sebagai bail out persoalan privat (swasta) oleh publik (rakyat), ada yang menilai ini adalah biaya krisis, ada yang memberi pengertian bahwa kejadian dimasa lalu itu sebagai produk manajemen BLBI yang amburadul.

Itu sebabnya Bank Indonesia kemudian meminta jaminan tambahan berupa jaminan pribadi (personal guarantee) dari salah satu pemilik bank penerima BLBI, konon untuk mendapatkan jaminan pribadi ini bank sentral harus menemui sang pemilik bank hingga ke negeri Paman Sam. Jumlah jaminan itu lebih kurang sama dengan total jumlah BLBI sebesar Rp144,5 triliun. Namun setelah dilakukan audit, nilai komersial jaminan tersebut hanyalah 8,54% saja.

Belum lagi terjadi perdebatan serius pada kejanggalan lonjakan BLBI yang pada Maret 1998 masih di level Rp87,04 triliun menjadi Rp103,05 triliun per April 1998. Bahkan akhir Agustus tahun yang sama, jumlah itu telah melambung hingga Rp140 triliun. Jumlah itu terus meningkat hingga Desember 1998 menjadi Rp147,74 triliun, walau kemudian setelah dilakukan perhitungan ulang antara Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, disepakati jumlah akhirnya sebesar Rp144,5 triliun. Angka itu setelah dilakukan penyesuaian baik pokok, bunga maupun denda atas BLBI.

Atas aliran dana ini juga mengandung perdebatan yang tak kalah seru dan hingga kini belum kunjung tuntas. Apakah dana itu murni dana krisis, sebagai hadiah kepada konglomerat, atau sebagai konsekuensi yang bebannya harus ditanggung oleh rakyat.

Lepas dari perdebatan-perdebatan yang mengemuka, kenyataannya kini rakyat semakin menderita dengan tekanan ekonomi yang serius, sementara sebagian konglomerat yang dulu dibantu rakyat kini masih tetap menjadi konglomerat dengan ranah bisnis yang semakin ekspansif.

Berdasarkan majalah Globe Asia edisi September 2007, sejumlah konglomerat yang banknya mendapat bantuan BLBI, menunjukkan sesuatu yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat yang kini sangat menderita. Pendapatan Salim Group (BCA-BTO) hingga Desember 2006 mencapai US$6,95 miliar, Bakrie Group (Bank Nusa Nasional-BTO) sebesar US$2,80 miliar, Chandra Asri Group (Bank Andromeda-BDL) sebesar US$1,10 miliar. (Suara Pembaruan, 28 Agustus 2007).

Sementara kekayaan para konglomerat itu secara pribadi juga lumayan besar, Soedono Salim (BCA-BTO) memiliki kekayaan sebesar US$2,80 miliar, Sukanto Tanoto (Unibank-BBKU lanjutan) sebesar US$1,30 miliar, Aburizal Bakrie (Bank Nusa Nasional-BTO) sebesar US$1,05 miliar, Sri Sultan Hamengkubuwono X (Bank Mataram Dhanarta-BDL) sebesar US$140 juta dan Pontjo Sutowo (Bank Pacific-BDL) sebesar US$125 juta. (Suara Pembaruan, 30 Juli 2007).


Perang audit

Jika ditelisik hasil audit beberapa auditor yang khusus menangani masalah BLBI ini, kita akan mendapati aneka opini yang semua mencerminkan pendapatnya masing-masing. Paling tidak ada beberapa pihak yang bersentuhan langsung dalam proses audit itu, yakni BPK, BPKP, PriceWaterhouseCoopers, Lehman Brothers, KPMG, CSFB, Danareksa, dan Bahana.

Ada persamaan, dan ada pula perbedaan dalam hasil audit para auditor tersebut, perbedaan terutama disebabkan asumsi yang dijadikan alasan dalam menarik kesimpulan para pihak yang mengaudit, disamping juga perbedaan objek yang diaudit.

Pertama, laporan hasil audit investigasi BPK pada 31 Juli 2000 dengan Nomor 06/01/Auditama II/AI/VII/200 menyimpulkan, bahwa dari total BLBI yang disalurkan kepada 48 bank sebesar Rp144,54 triliun, terdapat potensi kerugian negara hingga Rp138,44 triliun atau sebesar 95,78%-nya. Potensi kerugian itu didasarkan pada temuan penyimpangan terhadap ketentuan, kelemahan sistem dan kelalaian.

Kedua, laporan gabungan hasil audit investigasi BPKP pada 17 Juli 2000 dengan nomor LAP-02.02.07.437/D VII.2/2000 terhadap 42 bank yang diaudit menyimpulkan, bahwa terdapat penyimpangan penggunaan dana BLBI sebesar Rp54,56 triliun atau 51,45% dari saldo debet per tanggal 31 Januari 2000, atau 94,92% dari jumlah bukti yang diaudit.

Ketiga, hasil audit auditor asing Lehman Brothers yang diperbantukan untuk mengaudit aset Holdiko (khusus terkait BLBI Salim Group) menyatakan, total BLBI yang diterima dengan total penyerahan aset dalam rangka asset settlement, terdapat jumlah yang sama yakni Rp52,7 triliun.

Keempat, hasil audit auditor asing PriceWaterhouseCoopers khusus terhadap penyerahan aset Holdiko (terkait BLBI Salim Group sebesar Rp52,7 triliun) menunjukkan, bahwa aset yang diserahkan hanyalah Rp23 triliun.

Kelima, hasil audit auditor asing Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) terhadap penyerahan aset Holdiko (terkait BLBI Salim Group sebesar Rp52,7 triliun) menunjukkan, terjadi kelebihan penyerahan aset oleh Salim Group sebesar Rp240 miliar.

Keenam, Bahana dan Danareksa yang merupakan auditor local partners Lehman Brothers memiliki kesimpulan yang sama dengan Lemhan Brothers.

Ketujuh, hasil audit CSFB yang memeriksa penyerahan aset Sjamsul Nursalim menyimpulkan total aset yang diserahkan sama dengan total utang yang dimiliki, artinya utang dianggap lunas. Namun auditor sebelumnya Erns and Young (E&Y) mensinyalir justru ada kelebihan setor sebesar US$1,3 juta. Sjamsul Nursalim telah menyerahkan aset senilai Rp27,4 triliun terdiri dari GT Petrochem, PT Tire dan Dipasena Darma Citra Darmaja (senilai Rp20 triliun) ditambah setoran kas Rp428 miliar, namun laporan Tim Bantuan Hukum BPPN pada 2002 menunjukkan bahwa nilai riil Dipasena hanya Rp5,2 triliun.

Lantas, apa yang melatarbelakangi perbedaan hasil audit masing-masing auditor. Paling tidak ada lima alasan mengapa hasil audit itu berbeda. Pertama, aset yang diserahkan kepada BPPN tidak terawat secara baik, sehingga value-nya anjlok drastis. Dalam kasus Sjamsul Nursalim asetnya—tambak udang Dipasena Dharma Manunggal--anjlok hingga Rp27 triliun.

Kedua, kondisi pasar saat aset-aset itu dijual juga sedang jatuh, sehingga tak ada pembeli yang berani menawar aset dengan harga tinggi. Ketiga, waktu dan cara menjual aset yang tidak pas.

Keempat, terdapat perbedaan misi dan metode audit dari masing-masing auditor, dimana audit PWC ditujukan untuk penjualan aset (Overall Asset Disposal—OADP) sehingga wajar kalau harganya jatuh. Jatuhnya harga ini secara prinsip akuntansi dapat diterima lantaran diharapkan proses penjualan aset-aset tersebut bisa cepat laku terjual. Sementara KPMG ditugasi melakukan Financial Due Dilligence (FDD) saat penyerahan aset penerima BLBI, dalam kasus ini terdapat kelebihan jumlah aset yang diserahkan. Sedangkan Lehman Brothers ditugasi sebagai Financial Advisor (FA) BPPN dalam proses penyerahan aset.

Kelima, waktu audit yang berbeda, sehingga antara jumlah dana BLBI yang diserahkan dan nilai aset itu seperti moving target, atau angka yang selalu bergerak naik dan turun, sesuai kurun waktu dan situasi pasar yang ada pada saat itu. Karena pada saat itu berada pada situasi krisis, wajar kalau ada hasil audit yang sangat rendah. Tapi aset yang dulu di jual rendah itu, value-nya kini ada yang sudah melonjak hingga 802,7% seperti pada Bank Danamon dan 609,9% pada Bank Central Asia.


Tafsir atas audit

Pertanyaan lanjutannya, lantas mengapa BLBI sekarang menjadi ramai kembali? Disinilah menariknya pengusutan dan pelacakan kasus BLBI ini, karena seolah-olah menjadi isu yang selalu segar. Magnitude isu BLBI biasanya menghangat satu dua tahun menjelang Pemilu, sehingga ada yang berpendapat ini hanyalah upaya para pentalitan politik yang mengharapkan adanya fund rising menjelang Pemilu.

Sisi lain yang tak kalah seru, opini BPK yang sama sekali mengalami site back, bertolak belakang dengan pendapatnya terdahulu. BPK saat dipimpin Satrio Budihardjo ‘Billy’ Joedono sejak awal kasus itu mencuat hingga habis masa kepemimpinannya, konsisten berpendapat bahwa, terdapat penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI.

Sebaliknya, BPK saat dipimpin Anwar Nasution—yang nota bene pernah menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior BI—telah menerbitkan laporan yang membenarkan hasil audit Lehman Brothers. Perbedaan kutub kepemimpinan ini layak untuk didalami dan menjadikannya diskusi yang intensif.

Hal yang menarik dan perlu juga didalami adalah sinyalemen dari Jampidsus Kejakgung di era Kemas Yahya Rahman menyatakan, saat diserahkan aset-aset obligor tersebut terlebih dulu dinaikkan agar seolah-olah sama dengan utangnya.

Tapi hasil akhir penyelidikan kasus BLBI I (Grup Salim) dan BLBI II (Grup Sjamsul Nursalim) menyebutkan tidak ada unsur melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

Yang jelas, semua sinyalemen itu haruslah dapat dibuktikan di pengadilan agar ada kepastian hukum, namun pihak yang memproses di pengadilan seharusnya mereka yang faham dan mengerti kasus tersebut dengan benar. Bagaimana akhir dari cerita BLBI memang masih sulit diprediksi. Yang mudah diprediksi adalah, genderang BLBI selalu berbunyi nyaring menjelang pemilu.


Bukan kriminal biasa

Dalam pengamatan dan penelusuran penulis selama 10 tahun terkahir, persoalan BLBI pada dasarnya adalah persoalan niat baik pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengamankan sistem pembayaran nasional. Persoalan muncul ketika menyelinap ‘penumpang gelap’ dalam proses penyaluran, penggunaan dana BLBI serta proses settlement aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Penulis mendapati sejumlah data yang menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran pidana korupsi maupun pidana pebankan. Perbuatan melawan hukum itu tentu terkait dengan orang-orang yang terlibat dalam penyaluran penggunaan dana BLBI serta settlement aset dari para obligor dan pemegang saham.

Proses melawan hukum itu tidak tanggung-tanggung melibatkan 100-an pejabat BI, 203 pemilik dan pengurus 48 bank dan puluhan pejabat di BPPN. Jadi proses ini selain melibatkan banyak orang, banyak modus, juga melibatkan likuiditas yang sangat besar yakni Rp144,54 triliun. Oleh karena itu penulis tertarik untuk memberi judul pada buku ini dengan: BLBI, Extrairdinary Crime.

Alasannya, proses bagaimana BLBI mengalir ke rekening 48 bank, proses pemanfaatan dana-dana tersebut oleh bank, dan proses bagaimana penyelesaian kewajiban para obligor dan pemegang saham atas beban BLBI benar-benar mencengangkan. Karena itu perlu dilakukan penyelidikan ulang yang jujur, berani dan transparan, sejauh ini baru segelintir orang saja yang menjalani proses hukum dari kasus BLBI ini.

Sebagaimana diungkapkan oleh Soehandjono (dalam buku Bank Indonesia Dalam Kasus BLBI, 2002, halaman 124-125), tindakan melawan hukum paling tidak memenuhi lima unsur: harus ada perbuatan, perbuatan itu melawan hukum, harus ada kesalahan, harus ada kerugian dan harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian.

Penulis melihat unsur-unsur melawan hukum pada beberapa indikator: pertama, perbuatan yang bersifat penyimpangan dana BLBI sudah terbukti. Kedua, perbuatan itu tentu saja melawan prinsip-prinsip hukum perbankan dan hukum perusahaan. Ketiga, kesalahan terjadi pada saat penyaluran dan penggunaan serta penyelesaian kewajiban. Kesalahan dalam penyaluran dan penggunaan BLBI penulis dapati sebesar Rp84,84 triliun, sementara kesalahan dalam settlement aset sedikitnya penulis dapati sebesar Rp52,3 triliun (dari kasus Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim).

Keempat, penulis mencatat ada kerugian negara dalam proses ini sebesar Rp118,02 triliun (dari selisih nilai recovery rate dengan nilai BLBI). Kelima, jelas besarnya kerugian sebesar itu lantaran perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pihak terkait kasus BLBI tersebut.

Terlihat betapa audit yang dilakukan atas BLBI sangat beragam, tergantung cakupan dan wewenang masing-masing lembaga audit yang ditugaskan. Hanya saja dalam perkembangannya, audit BPK dan BPKP yang merupakan audit paling komprehensif, cenderung dipetieskan. Padahal kalau dibuka, maka akan terkuak sejumlah kejanggalan-kejanggalan yang tak lazim, bahkan menurut ukuran teknis perbankan itu sendiri.

Saat buku ini ditulis, dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penanganan kasus BLBI terus meluas. Mulai dari DPR, DPD, LSM, pribadi-pribadi, pengamat, hingga pejabat pemerintah.

Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi wacana pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK. Menurut JK, rencana itu sangat baik dan tepat. Karena KPK memang mempunyai kemampuan ekstraordinari, KPK mempunyai hak dan wewenang yang tidak dimiliki aparat penegak hukum yang lain. Antara lain bisa melakukan penggeledahan dan penyadapan. KPK bisa menggeledah setiap saat dan memonitor pembicaraan. Itu hanya bisa yang melakukan KPK. Kalau polisi hanya kasus-kasus normal.

Kasus BLBI mengalami jalan buntu ketika Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Terhadap hal tersebut, Wapres menegaskan KPK bisa mengambil alih kasus BLBI yang macet tanpa takut terbentur konflik antar institusi. Dalam UU KPK jika ada satu kasus yang mandeg, maka bisa diambilalih oleh KPK.

Hanya saja Kejaksaan Agung yang sudah terbukti gagal menangani kasus BLBI dalam 10 tahun terakhir, tampak masih berusaha agar KPK tak mengambil alih kasus BLBI, paling tidak dalam pernyataan resminya.

Menurut JAM Pidsus Mawran Effendi lembaganya tidak yakin kalau KPK akan mengambil alih kasus BLBI yang kini ditanganinya. Kejagung menilai itu hanya wacana belaka. KPK masih menunggu keputusan pengadilan.

Menurut Marwan, Kejagung belum berkoordinasi dengan KPK soal pengambilalihan penyidikan kasus BLBI. Bahkan Ketua KPK Antasari Azhar beberapa kali sudah mengatakan sebaiknya menunggu hasil keputusan pengadilan tinggi.

Hanya saja dalam bahasa retorika Marwan mempersilakan KPK jika ingin mengambil alih kasus tersebut. Tapi ditegaskan, pengambilalihan itu harus sesuai mekanisme yang ada. JAM Pidsus yakin KPK sangat memahami mekanisme tersebut sehingga tidak akan sembrono.

Semakin jelas, bahwa ada yang terselubung dalam kasus BLBI ini, terutama dalam proses hukum yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Karena itu pengambilalihan kasus itu oleh KPK menjadi strategis guna menangani masalah BLBI secara komprehensif.

Boleh jadi argumentasi penulis tidak tepat, tapi penulis merasa yakin bahwa tidak semua proses penyaluran dan penggunaan BLBI benar, sebagaimana tidak semua proses itu salah. Artinya diperlukan penyelidikan ulang yang jujur, berani dan transparan, sehingga menghasilkan sebuah proses hukum yang berkualitas dan proses seperti ini tidak pernah muncul dalam 10 tahun terakhir.

Akhirnya penulis berharap buku ini dapat membuka kembali kasus yang nyaris dipetieskan ini. Sehingga berapapun hasil proses hukum BLBI ini akan dapat dirasakan keadilannya oleh rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar