Sabtu, 30 Januari 2010

Sepak Terjang Salim Grup


Tidak mudah menyoal sepak terjang bisnis Soedono Salim alias Liem Sioe Liong. Mereka yang mencoba mempermasalahkannya langsung distigma sebagai "rasialis" dan belakangan juga dilabeling "ditunggangi pihak lain". 
Besar berkat Monopoli,Lisensi dan Kemudahan Kredit
Sejatinya, sepak terjang Salim dan anak-anaknya memang sarat persoalan. Bagaimana tidak. Sedari awal, bisnis mereka berkembang berkat pemberian monopoli yang diberikan Soeharto. 
Yang paling "fenomenal" adalah monopoli bisnis terigu. Mereka mendapat hak eksklusif mengimpor gandum, menggilingnya menjadi tepung terigu hingga mendistribusikannya untuk kawasan Indonesia bagian Barat melalui PT Bogasari. Dan, ini tak sekadar monopoli biasa.
Soalnya, meski memiliki lisensi impor, namun proses impornya harus melalui Bulog. Bogasari membeli dengan harga murah karena Bulog disubsidi oleh pemerintah. Setelah diolah menjadi tepung terigu, Bogasari menjual kembali ke Bulog dengan margin 30%. Margin keuntungan ini 5 kali lebih besar dari margin keuntungan yang diperoleh perusahaan sejenis di Amerika Serikat. Dengan kata lain, bisnis tepung mereka telah membebani perekonomian nasional.
Berkat monopoli ini, Salim berhasil membangun imperium bisnis di bidang makanan melalui Indofood Sukses Makmur (ISM) yang merajai bisnis mie. Yang masih diingat orang, berkat monopolinya itu, Salim berhasil menggembosi Super Mie yang mulanya adalah pemain utama di bisnis mie instan. Belakangan Super Mie diakusisi oleh ISM.
Kesuksesan berbisnis berkat monopoli ini menjadi salah satu ciri khas bisnis Salim Grup. Bermitra dengan Bob Hasan dan Hutomo Mandala Putra, Liem Sioe Liong mengoperasikan Sarpindo, perusahaan pengolah biji keledai menjadi pakan ternak pada tahun 1988. Sarpindo menguasai setengah dari konsumsi biji kedelai di tanah air berkat hak esklusif yang diberikan oleh pemerintahan Soeharto dalam mengimpor biji kedelai. 
Ciri khas lain dari pengembangan bisnis SG adalah adanya bantuan langsung dari pemerintahan Soeharto ketika bisnis mereka limbung. Yang paling sering disebut adalah ketika pemerintah turun tangan menyelamatkan Indocement Tunggal Perkasa, salah satu pemegang hak esklusif pasar semen di tanah air. 
Selebihnya, sebagaimana konglomerat lainnya, bisnis SG juga banyak berkibar lantaran pemberian konsensi-konsensi dari mulai HPH, perkebunan,media hingga hak kelola di Bintan.
Ringkasnya, pemberian monopoli, lisensi dan juga bantuan finansial pada akhirnya harus dibayar dengan menggerus APBN dan juga menguras kantong konsumen di dalam negeri.
Sudah Melanggar BMPK, Dana BLBI Diselewengkan Pula
Ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1997, Salim Grup  ikutan limbung. Sapi perahnya di bisnis keuangan (BCA) mengalami kesulitan likuditas dan mendapat guyuran BLBI sebesar Rp 52,7 trilyun.  
Limbungnya BCA tak melulu karena adanya rush dari nasabah, melainkan juga karena pengelolaan bank yang tidak prudent. Ini ditandai adanya pemberian kredit secara besar-besaran kepada perusahaan yang masih satu grup atau yang terafiliasi dengan SG. Dalam UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan, ini adalah pelanggaran Batas Maksimal Pemberian Kredit kepada grup sendiri (BMPK) dan termasuk dalam kategori kejahatan pidana.
Selain melanggar BMPK, SG juga menyelewengkan dana BLBI yang semestinya hanya dipakai untuk keperluan mengembalikan dana nasabah yang ditarik oleh pemiliknya. Berdasarkan audit BPK tahun 2000, Rp 15,82 triliun diantaranya telah diselewengkan untuk berbagai kepentingan, dari mulai membayar utang, transaksi surat berharga, penempatan baru di pasar uang antar bank hingga untuk eskpansi kredit.  
Ketika ditagih, sebagaimana penerima BLBI lainnya, SG melakukan berbagai ‘perlawanan’ namun akhirnya setuju menandatangani perjanjian pembayaran utang melalui mekanisme penyerahan aset (MSAA) serta dalam bentuk uang tunai senilai Rp 100 milyar. 
Ekspansi ke Luar Negeri Ketimbang Bayar Utang
Meski sedang dirudung masalah pembayaran utang, nafsu ekspansi Salim tak surut. Terutama dalam pengembangan bisnis di luar negeri. Yang cukup terekspose adalah aksinya melakukan pembelian saham Philippine Long Distance Telephone Company (PLDT) melalui First Pacific senilai US$ 760 juta. First Pacific merupakan lengan bisnis SG yang bermarkas di Hongkong.  
PLDT adalah provider telekomunikasi nomor satu di Filipina.  Di negeri jiran ini, Salim juga masih menguasai dua perusahaan besar lainnya, yaitu Metro Pacific Corporation (perusahaan penyedia air bersih, real estate)  dan Level Up! International Holdings Pte. Ltd. (online games). 
Selain di Filipina, First Pacific juga mengembangkan bisnis di Bengal, India. Mereka merencanakan pembangunan kawasan bisnis seperti di Batam dengan nilai total investasi USD 10 milyar!. Namun, di negeri ini langkah Salim terpentok karena masyarakat setempat melakukan perlawanan. Bahkan, akibat bentrokan, tak kurang 14 warga India tewas dan puluhan lain luka-luka. 
Di samping itu, Salim juga mendirikan perusahaan  induk investasi di Bangkok di bawah payung perusahaan publik Berli Jucker.  Perusahaan ini akan menanam investasi di pelbagai usaha, mulai dari  kemasan, properti, dan industri manufaktur.
Di Singapura, Salim juga mempunyai QAF. Aksi penting QAF yang mendapat sorotan publik adalah ketika melakukan akuisisi internal terhadap dua perusahaan kimia yang juga milik Salim yang beroperasi di daratan Cina. Belakangan, melalui pihak ketiga, Salim juga membeli kembali sebagian saham QAF yang sudah dilego Holdiko Perkasa, konsorsium yang mengelola aset-aset milik SG yang dijadikan pembayaran utangnya kepada BPPN.
Selain ekspansi langsung, Salim juga mulai melepas kepemilikan di sejumlah perusahaan yang sebenarnya menjadi sapi perahan SG di dalam negeri. 
Yang banyak disorot adalah ketika dia menjual 60% saham ISM ke Nissin First Pacific BV, dimana First Pacific menguasai 50% saham Nissin. Dengan begitu sebenarnya, Salim tak sepenuhnya kehilangan kepemilikan atas ISM. Melalui penjualan ini, makin besar duit ISM yang mengalir ke luar negeri,baik dalam bentuk deviden dan pembayaran pajak yang dinikmati negeri jiran (Hongkong). Jika dikaitkan dengan kesuksesan ISM berkat monopoli, penjualan saham ini kian terasa ironinya. 
Ekspansi usaha ditengah belitan masalah utang di dalam negeri rupanya tak menghalangi SG memperoleh Surat Keterangan Lunas. SKL ini diperoleh setelah SG menyerahkan 108 perusahaan miliknya sebagai pembayaran utangnya plus Rp 100 milyar dalam bentuk tunai. Atas sikapnya ini, SG pun beroleh julukan debitur yang baik dan koperatif. Tapi benarkah begitu?
Tak Koperatif dan Mengakali
Kajian yang dilakukan Fred Tumbuan, pengacara yang diminta BPPN melakukan penelaahan ulang atas pelaksanaan MSAA yang ditandatangani Salim cukup menjelaskan posisi Salim yang sesungguhnya. 
Menurut Fred, pada dasarnya pelunasan hutang belum terjadi karena pada dasarnya SG membayar utang kepada dirinya sendiri!
Hal ini bisa terjadi karena seluruh aset yang diserahkan SG ditransfer ke PT Holdiko Perkasa yang sahamnya dimiliki oleh  PT Gemahripah Pertiwi dan PT Cakrasubur Nirmala. Kedua perusahaan terakhir ini dimiliki oleh Salim Grup.  
Menurut Tumbuan, karena SG  secara tidak langsung adalah pemegang saham PT Holdiko, penyerahan kepemilikan aset kepada PT Holdiko tersebut sebenarnya adalah suatu penyerahan kepemilikan aset oleh debitor kepada dirinya sendiri. 
Dengan demikian, release and discharge yang diberikan BPPN selaku kreditor dari utang BMPK, tidak mempunyai dasar hukum, karena belum terjadi pembayaran lunas oleh shareholders kepada BPPN. Karena itu, jika terjadi penurunan aset maka sepenuhnya menjadi resiko pemilik. 
Apalagi dari 108 yang diserahkan SG, banyak diantaranya saham yang diserahkan hanya dalam porsi yang kecil dari keseluruhan kepemilikan SG di perusahaan tersebut. Kalaupun ada yang diserahkan semuanya, itu dilakukan lebih karena di perusahaan itu kepemilikan SG hanya minoritas. (libat tabel)
Yang diserahkan SG                   Yang tetap dikuasai SG
Perusahaan %                            Perusahaan %
Indofood 2,5                            Indofood 27,5
Indocement 10                            Indocement 50
QAF 20                                            QAF 45
First Pacific 5                            First Pacific 49
Astra 9                                    Astra 0
Penguasaan tidak lansung melalui HP dan penyerahan saham dalam jumlah kecil membuat BPPN tidak mempunyai kontrol terhadap nilai aset yang diserahkan.  Jika terjadi penurunan nilai dari aset/perusahaan-dan ini memang telah terjadi-Tumbuan menegaskan, adalah tidak masuk akal (unreasonable, onredelijk) dan tidak patut/tidak adil (inequitable, onbillijk) jika risiko penurunan nilai itu harus ditanggung BPPN, sedangkan shareholders tidak mempunyai tanggung jawab apa pun atas akibat penurunan tersebut, karena telah diberikan release and discharge.
Yang mengejutkan, manajemen Holdiko juga tak kalah galaknya. Mereka pernah mogok menjual aset-aset SG yang mereka kelola. Ini dilatari keputusan KPPU yang mendenda mereka ketika melakukan penjualan saham SG di Indomobil. Menurut KPPU, denda itu dijatuhkan karena HP melakukan cara yang tidak sehat ketika menjual Indomobil. 
Sudah begitu, manajemen Holdiko juga menuntut management fee atas kerja mereka menjual aset-aset SG. Akibatnya, BPPN belakangan menjual sendiri aset Salim. 
Menurut Ketua BPPN Syafruddin Tumenggung, jika penjualan itu terus dilakukan lewat Holdiko, uangnya tidak akan langsung masuk ke kantong BPPN, tapi dipotong dulu oleh Salim sebagai ganti management fee. Kalaupun BPPN berkeras akan mengambil uang hasil penjualan tadi, kata Syafruddin, paling-paling hanya menghasilkan konflik hukum baru. “Kalau sudah begitu, apa yang bisa diambil?” ujar Syafruddin sebagaimana dikutip majalah Trust. 
Setelah aset-aset Salim dijual secara obralan, Salim diketahui melakukan berbagai upaya untuk membeli kembali kepemilikan mereka melalui pihak-pihak ketiga. Padahal, sejatinya Salim terikat perjanjian untuk tidak membeli kembali aset-aset yang telah mereka serahkan dalam jangka waktu tertentu. 
SG, umpamanya, disebut-sebut berada dibalik Faralon (yang membeli BCA) ataupun Guthrie Berhad(yang membeli Salim Plam Plantation). Yang belakangan terkuak, SG juga membeli kembali kepemilikan saham mereka di Indosiar. Belakangan saham ini mereka lego kembali untuk ditukar dengan 64,4% saham London Sumatera Planation. 
SG Makin Kaya, Liem Hidup Tenang di Singapura 
Setelah 10 tahun berlalu, kekayaan Salim Grup terus bertambah banyak.  Majalah Trust no 33 edisi Juni 2007 melaporkan, Anthony Salim, pengendali SG sesuai krisis moneter masih memiliki saham di BCA. Selain itu, Anthony dikabarkan juga memiliki saham Bank Mega sebesar 40%. 
Sementara itu, sang bapak, Sadono Salim sudah sejak reformasi hengkang ke Singapura. Ia tinggal di sebuah rumah mewah, bahkan untuk ukuran Singapura sekalipun. Sewaktu perayaan ulang tahunnya yang ke 90, para tokoh politik nasional dan pebisnis berduyun-duyun menghadiri pestanya yang berlangsung selama dua hari dan menghabiskan dana Rp 20 milyar.

Kejayaan SG semakin lengkap karena mereka telah mengantongi Surat Keterangan Lunas. Padahal mereka hanya melunasi Rp 19,4 triliun dari total utangnya yang mencapai Rp 52,7 triliun. 
Akhir Cerita: Kerugian Negara Selangit 
Bahkan jika diperhitungkan dengan bunganya semestinya utang SG jauh lebih besar lagi. Dalam surat No.1463/Memo/AMI/BPPN/1102 perihal Ringkasan Hasil Pengawasan dan Review atas Laporan Keuangan PT Holdiko Perkasa per 31 Juli 2002 terungkap bahwa total tagihan convertible right issue (CRI/pengeluaran saham yang bisa dikonversi dengan utang) BPPN kepada Holdiko  tercatat Rp 88,35 triliun. Angka ini berasal dari sisa pokok utang CRI Holdiko ke BPPN sebesar Rp 43,80 triliun, ditambah dengan biaya bunga yang belum dibayarkan (acrual) sebesar Rp 44,55 triliun. 
Jika asumsi perhitungan 2002 dipakai dan dikurangkan dengan hasil penjualan aset SG maka kerugian negara (hingga tahun 2002) sedikitnya mencapai Rp 68,97 triliun (Rp 88,35 triliun - Rp 19,38 triliun)!!! (fr dari berbagai sumber)

0 komentar:

Posting Komentar