Tiga nama Plt KPK sudah beredar luas. Ketiganya adalah Mas Ahmad Santosa, Tumpak Hatorangan Panggabean, dan Waluyo. Dua nama terakhir adalah muka lama di lingkungan KPK. Masing-masing pernah menjabat sebagai Wakil Ketua dan deputi di KPK.
Nama yang pertama merupakan muka baru.Sejauh ini di kalangan NGO, Ota, begitu Ahmad Santosa biasa disapa, lebih dikenal sebagai ahli hukum lingkungan. Sebelum berkiprah sebagai Senior Advisor Program Hak Asasi Manusia UNDP, Ota lebih dikenal sebagai pimpinan ICEL alias Indonesian Center Environmental Law.
Tapi, bukan itu yang paling menjadi persoalan. Posisi Ota dianggap rawan benturan kepentingan. Ini dikaitkan dengan posisi istrinya, Lelyana Santosa. Lelyana adalah patners di Lubis, Santosa & Maulana.
Posisi Lelyana dipersoalkan karena bersama Todung Mulya Lubis merupakan pengacara keluarga Salim yang masih terjerat penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Sebagai informasi, kasus BLBI yang melibatkan Salim, Syamsul Nursalim dan sejumlah taipan lainnya belum benar-benar rampung. Terakhir, kasus ini sudah "setengah dioper" dari gedung bundar ke KPK. Namun, di tangan KPK kasus ini seperti mangkrak.
Dalam konteks seperti itu, tudingan yang disampaikan kantor pengacara Hotman Paris Hutapea tentang dugaan adanya maksud tersembunyi Tim Lima (dimana ada Todung Mulya Lubis dan juga Adnan Buyung Nasution yang kantor pengacaranya pernah menjadi pembela Syamsul Nursalim (Gadjah Tunggal Group) yang milih ngacir ke negeri jiran) memasukkan Ota sebagai Plt KPK memang bisa dipahami. Meski Ota mengaku bakal mempertahankan independensinya, prasangka terlanjur berkembang.
Keterlanjuran prasangka ini harus dipahami pula dalam konteksnya. Yakni, menyangkut posisi Todung Mulya Lubis. Persis sebelum menjadi kuasa hukum Keluarga Salim, Todung adalah satu dari lima pengacara yang dilibatkan Komite Kerja Sektor Keuangan sebagai Tim Bantuan Hukum KKSK.
Bagian dari TBH
TBH diberi tugas melakukan kajian terhadap semua pemenuhan perjanjian puluhan obligor BLBI, baik yang menandatangani MSAA,MRNIA ataupun APU. Kesimpulan pokoknya, TBH menyatakan,"...tak satupun obligor yang nyata-nyata patuh dan memenuhi kewajiban yang tertuang dalam PKPS masing-masing." . Karena itu, dengan sendirinya perjanjian itu batal demi hukum dan karenanya para obligor bisa diseret secara pidana ataupun perdata.
Nah, yang kemudian menjadi pergunjingan, tak lama berselang kantor hukum Lubis Santosa & Maulana justru menjadi pembela keluarga Salim dalam perkara penggelapan aset-aset yang tergabung dalam Sugar Group.
Sebagai informasi, aset-aset SG merupakan bagian dari kekayaan yang diserahkan keluarga Salim untuk membayar dana BLBI yang mereka kemplang. Belakangan ketahuan, aset-aset yang mereka serahkan itu ternyata tidak bersih dari liens alias hipotik, utang dan sejenisnya. Ini secara terang-terangan melanggar Pasal 8.5 dalam MSAA yang mereka tandatangani.
Sebagai pengacara Salim, Todung dkk tentu saja mati-matian membela kliennya. Padahal, sebagai bagian dari TBH, Todung justru menyatakan hal yang sebaliknya. Akibat membela 'kanan' - 'kiri' ini Todung dikenai sanksi oleh Peradi dan juga belakangan oleh KAI.
Di Holdiko Juga
Meski sanksinya terbilang ringan, Todung dianggap telah melanggar kode etik profesi. Kode etik profesi mencerminkan integritas seorang profesional dalam menjalan tugas-tugasnya. Jadi, biar ringan, pelanggaran kode etik jauh lebih mencederai reputasi seorang profesional ketimbang sanksi hukum lainnya.
Dalam soal ini, Todung bersama patnernya Lelyana Santosa juga pernah dihukum Dewan Kehormatan Pusat Ikadin pada tahun 2003 lalu. DKP menilai, tindakan Mulya dan Lelyana yang memuat iklan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tanggal 1 Agustus 2002 dalam perkara PT. Holdiko Perkasa melawan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), merupakan pelanggaran Pasal 8 b dan f Kode Etik Advokat tahun 2002. Ketika itu, Mulya dan Lelyana berkedudukan sebagai kuasa hukum Holdiko Perkasa.
Sebagai informasi, PT. Holdiko Perkasa adalah perusahaan yang didirikan untuk penyelesaian kewajiban pemegang saham antara Grup Salim dengan BPPN. Kewajiban itu terkait dengan dana BLBI yang dikemplang oleh Grup Salim. Holdiko bertanggung jawab untuk menyerahkan hasil penjualan kepada BPPN.
Hasil penjualan itu diserahkan untuk menebus Convertible Right Issue (CRI) yang dikeluarkan oleh Holdiko kepada BPPN. Secara teoritis, BPPN merupakan pemegang kuasa saham Holdiko. Namun, seluruh jajaran Holdiko pada dasarnya tetap orang-orangnya keluarga Salim dan ditengarai lebih banyak berpihak kepada kepentingan keluarga Salim ketimbang BPPN.
Pada titik ini, langkah zigzag Mulya Lubis dan Lelyana Santosa tak urung membuat sejumlah pihak khawatir. Soalnya, ada Ota di jajaran KPK. Adanya hubungan personal Ota dengan Lelyana (sebagai istri) dan Todung (sebagai sejawat di lingkungan keluarga besar YLBHI) membuat prasangka mudah mencuat.
Prasangka akan pupus dengan sendirinya kalau kasus BLBI yang melibatkan Keluarga Salim, Syamsul Nursalim dan sejumlah taipan lainnya kembali dibuka oleh KPK. Tentu tidak seperti di tangan Kejaksaan yang berakhir mempetieskannya. Dan, belakangan ketahuan, jaksa yang menangani kasus ini ternyata menerima suap dari Artalyta Suryani.
Sabtu, 30 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar