TULISAN ini masih merupakan sambungan dariringkasan pengumuman Panitia Kerja (Panja) Komisi IX DPR tentang Bantuan Likuiditas BankIndonesia (BLBI), yang pada intinya mengungkapkan indikasi adanya penyimpangan dalam penyaluran BLBI,sehingga berakibat jumlahnya membengkak menjadi Rp 144,5 trilyun. Berikut lanjutan dari ringkasan latar belakang dan kronologi pengucuran BLBI, sampai pada perubahan jadwal pengembalian dana BLBI, yang ditentukan oleh Dana Moneter nternasional (IMF).
Adanya bunga simpanan yang sangat tinggi, kenaikan kurs dollar AS dan kepanikan karena ketentuan permodalan bank yang ditetapkan pemerintah, menimbulkan sejumlah kredit macet yang melilit dunia perbankan. Aktivitas bank, mau tak mau, menyebabkan terjadinya minus spread (selisih negatif antara suku bunga simpanan dengan suku bunga pinjaman bank).
Akibatnya, CAR (Capital Adequacy Ratio/rasio kecukupan modal) bank makin turun dan sebaliknya bank yang menerima BLBI malah mengalami tekanan bunga yang sangat tinggi. Tak pelak akhirnya terjadi pembengkakan BLBI karena bunga.
Pada tanggal 4 April 1998, pemerintah (Menteri Keuangan Fuad Bawazier) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengumumkan adanya tujuh bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO), tujuh bank menjadi Bank Take Over (BTO) dan 40 bank masuk Bank Dalam Penyehatan (BDP). Sejak itulah, BLBI mulai Februari dan Maret tidak mengalami kenaikan. Namun, pada April hingga Mei 1998 berikutnya, terjadi peningkatan jumlah menjadi Rp 119,193 trilyun.
Hal ini disebabkan karena adanya faktor utama, yaitu penggantian dana pihak ketiga pada tujuh BBO dan kemungkinan dana pada bank BTO yang diakibatkan pencairan penjaminan. Kondisi ini terus berkembang, karena 40 bank yang dalam pengawasan tersebut selalu mengalami saldo debet yang makin besar akibat ketidakpercayaan masyarakat.
Pada Mei 1998, meskipun IMF akhirnya menyalurkan program bantuan yang tertunda sebesar satu milyar dollar AS, namun perkembangan sosial politik dan ekonomi dalam negeri menyebabkan keadaan tak bisa lagi ditolong. Perkembangan sosial politik di Indonesia makin tak bisa dikendalikan.
Menyusul kerusuhan di kota Medan (dipicu kenaikan harga BBM), kerusuhan besar pun kemudian melanda Jakarta pada 13-15 Mei 1998. Keadaan ini jelas semakin mendorong pelarian modal (capital flight) ke luar negeri dan menyebabkan pasar uang menjadi semakin tidak liquid. Buktinya, selesai kerusuhan, rupiah berada pada kisaran Rp 12.000 per dollar AS dan cenderung makin terus melemah.
Apalagi kemudian IMF batal mencairkan pinjaman tahap ketiganya sebesar satu milyar dollar AS, yang sedianya akan diturunkan pada 4 Juni 1998. Sedangkan demonstrasi mahasiswa yang terus berlanjut, akhirnya memuncak pada pendudukan gedung DPR oleh mahasiswa, yang kemudian menyebabkan Presiden Soeharto terjungkal.
* * *
SOEHARTO yang tidak lagi didukung oleh sejumlah menteri ekonominya,akhirnya menyerahkan estafet kepemimpinan begitu saja kepada wakilnya,BJ Habibie. Habibie kemudian menunjuk kembalibeberapa mantan menteriekonomi Soeharto untuk dijadikan pembantu-pembantunya. Di antaranya Ginandjar Kartasasmita, Hartarto dan Bambang Subianto, masing-masing sebagai Menko Ekuin/Kepala Bappenas, Menkeu dan Menko Wasbang/PAN.
Namun, kepercayaan kepada sektor perbankan sungguh-sunguh makin parah. Penarikan dana, terus-menerus terjadi. Bahkan, Bank Central Asia (BCA) pun akhirnya juga masuk dalam pengawasan BPPN. Saat itu, pengucuran BLBI semakin besar jumlahnya.
Sebelum Soeharto tumbang, pada tanggal 18 Mei 1998, Menteri Keuangan Fuad Bawazier sempat melaporkan kepada Presiden Soeharto tentang adanya pengucuran dana BLBI ke bank-bank komersial. Surat berkualifikasi rahasia itu dikirimkan Fuad dengan nomor SR-328/MK/1998, berisikan pemberitahuan tentang adanya BBO dan BTO yang melakukan rekayasa dalam pemberian fasilitas kredit yang disalurkan kepada pihak terafiliasi berikut jumlahnya, tanpa memenuhi persyaratan yang wajar.
Bank-bank BBO yang menyalurkan fasilitas kredit kepada afiliasinya sendiri adalah Bank Surya, Bank Pelita, Bank Istismarat Indonesia, Bank Centris, Bank Subentra, Bank Deka, dan Bank Hokindo. Sedangkan Bank-bank BTO, di antaranya Bank Danamon, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Tiara Asia, Bank Modern, dan Bank Umum Nasional (BUN).
Pada Juni 1998, pemerintah memutuskan menurunkan persyaratan modal bank menjadi Rp 250 milyar dari Rp 1 trilyun dengan CAR sebesar empat persen pada akhir tahun 1998. Sedangkan rupiah pada waktu itu diperdagangkan pada kisaran Rp 14.700 per dollar AS. Pada saat itu kembali dilakukan supplement LoI keempat dengan IMF. Hal ini mengakibatkan pemerintah merevisi kembali anggarannya untuk ketiga kalinya dengan asumsi yang berbeda.
Kemudian pada Juli 1998, isu BLBI sebagai penjarahan uang rakyat, mulai muncul berkaitan dengan dimasukkannya pembayaran bunga BLBI sebesar Rp 15 trilyun ke dalam APBN 1998/1999. Sedangkan nilai tukar rupiah mengalami perbaikan menjadi Rp 13.000 per dollar AS. Dimasukkannya bunga BLBI ke dalam APBN, mengundang protes BI.
* * *
NAMUN, ketika nilai tukar rupiah membaik ke tingkat Rp 10.650 peer dollar AS pada Agustus 1998, pemerintah kembali membekukan tiga bank swasta nasional, yaitu BDNI, BUN dan Bank Modern, serta mengambil alih empat bank pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bapindo dan Bank Exim. Pada saat itu, pemerintah memberi waktu sampai 21 September 1998 kepada pemilik BBO dan BTO untuk membayar kembali BLBI, baik secara tunai maupun jaminan aset bank. Jika tidak terpenuhi, harus dicukupkan dengan aset pemilik bank.
Untuk itu, pemerintah menunjuk Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara dengan surat kuasa khusus (SKK) untuk menagih pembayaran tersebut. Langkah selanjutnya adalah pemilik dan pengurus bank dipanggil ke kantor Kejaksaan Agung.
September 1998, Jaksa Agung AM Ghalib menegaskan, meskipun akan ditempuh penyelesaian di luar jalur pengadilan (out of court settlement), namun para bankir yang nakal tetap akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan pengembalian BLBI.
Pada 21 September 1998, para bankir itu memberi jawaban mengenai pembayaran BLBI dengan mengirimkan daftar aset dan hanya sebagian kecil saja yang menyebutkan uang tunai. Namun, di situ, terdapat perbedaan antara pemilik dan pemerintah mengenai nilai aset yang diserahkan pemilik bank.
Kemudian, pada 25 September 1998, dengan dasar hukum Keppres No 55/1998 tertanggal 6 April 1998, Menkeu Bambang Subianto menerbitkan surat utang sebanyak Rp 80 trilyun sebagai pengganti dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
Oktober 1998, mantan Menteri Keuangan Frans Seda, selaku penasehat ekonomi Presiden BJ Habibie menyatakan bahwa berdasarkan keputusan presiden, para pemilik bank harus mengembalikan dana BLBI dalam bentuk tunai dengan jangka waktu satu tahun.
Sebagai tindak lanjut dari Keppres No 55 Tahun 1998 tentang Surat Utang Pemerintah, Menkeu Bambang Subianto pada tanggal 23 Oktober 1998 dengan surat Nomor SU-002/MK/1998, menerbitkan Surat Utang Pemerintah sebesar Rp 20 trilyun, untuk pengganti BLBI yang dikonversi sebagai pernyertaan modal pemerintah sementara pada Bank Exim.
Tak lama setelah itu, pada tanggal 10 November 1998, pemerintah memberikan keterangan mengenai pola penyelesaian kewajiban para pemilik lama saham mayoritas BBO dan BTO kepada pemerintah. Keterangan tersebut pada dasarnya berisikan jangka waktu pengembalian BLBI selama empat tahun, dengan perincian 27 persen (pokok dan bunganya) pada tahun pertama dan sisanya dibagi rata selama tiga tahun berikutnya dengan bunga 30 persen setahun.
Sumber utama pembayaran, yang dimaksud pemerintah, adalah penjualan aset bank dan aset pemilik BBO dan BTO. Perubahan jadwal pembayaran dari satu tahun menjadi empat tahun berasal dari pendapat IMF, yang keberatan dengan rencana pembayaran berjangka waktu satu tahun yang tidak mungkin terlaksana dan akan mengganggu proses pemulihan ekonomi.
Selanjutnya, pada tanggal 29 Januari 1999, BI mengalihkan penagihan BLBI kepada BPPN sebesar Rp 144,5 trilyun sesuai surat Menko Ekuin Ginadjar Kartasasmita nomor 1700/MK/ 4/1998 sebagaipelaksanaan agenda reformasi struktural antara RI-IMF.
Surat tersebut kemudian disusul dengan penandatanganan persetujuan pengalihan penagihan BLBI dari BI kepada pemerintah pada tanggal 6 Februari 1999. Penandatanganan persetujuan pengalihan penagihan tersebut didasarkan pada surat persetujuan bersama antara Gubernur BI Syahril Sabirin dengan Menkeu Bambang Subianto.
Dua hari kemudian, pemerintah kembali menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 trilyun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
Lantas, pada tanggal 13 Maret 1999, pemerintah kemudian mem-BBKU-kan 38 bank, sembilan bank BTO, tujuh bank direkapitalisasi dan 74 bank tidak ikut program rekapitalisasi karena direkap sendiri oleh pemiliknya.
Bank-bank dalam BBKU sebagian besar terdiri dari 40 bank yang pada April dinyatakan dalam penyehatan BPPN. Hal ini menunjukkan bahwa bank-bank dalam program penyehatan BPPN sebagian besar tidak dapat diselamatkan, sekalipun dana BLBI telah banyak disalurkan pada bank-bank tersebut. (har/mar).
Fasilitas Kredit terhadap Afiliasi pada BTO No. | Nama Bank | Afiliasi | Jumlah |
1. | Bank Danamon Indonesia | Usman Admadjaya, Komisaris dan direksi | Rp 8,2 milyar |
2. | Bank Dagang Nasional | Syamsul Nursalim, Dirut | Rp 561,2 milyar Rp 7,1 trilyun |
3. | Bank Tiara Asia | Dewan Komisaris dan Komite kredit | -(tidak terdata) |
4. | Bank Modern | Dewan komisaris dan direksi | Rp. 592,8 milyar |
5. | Bank Umum Nasional | Dewan Komisaris dan direksi | Rp . 3,1 trilyun |
Sumber : Laporan Panja BLBI Komisi IX DPR
Tabel 2
SBPUK yang Dialihkan Menjadi Kewajiban Pemerintah
Per 29 Januari 1999 No | Bank | Jumlah FSBPUK (dalam rupiah) |
1 | Bank Pelita | 1.067.979.330.716,86 |
2 | Bank Hokindo | 67.531.488.961,30 |
3 | Bank Istismarat | 407.093.110.613,55 |
4 | Bank Deka | 149.822.856.832,34 |
5 | Bank Centris | 478.586.915.245,84 |
6 | Bank Umum Nasional | 1.488.075.499.669,54 |
7 | BDNI | 9.755.106.842.638,87 |
8 | Bank Modern | 1.751.623.576.405,36 |
9 | Bank Tiara Asia | 940.689.250.596,01 |
10 | Bank Danamon | 5.256.747.400.343,39 |
11 | Bank Pesona (d/h Utama) | 537.812.155.013,52 |
12 | Bank Asia Pasific | 1.460.887.297.211,76 |
13 | Bank Papan | 901.449.177.297,83 |
14 | Bank Nusa Nasional | 1.280.319.867.048,40 |
15 | Bank PSP | 217.456.721.322,17 |
16 | Bank Intan | 204.239.401.943,10 |
17 | Bank Aken | 150.690.961.682,07 |
18 | Bank Baja International | 35.769.415.802,94 |
19 | Bank Lautan Berlian | 240.816.707.106,90 |
20 | Bank Sewu | 108.266.741.175,61 |
21 | Bank Indonesia Raya | 1.201.131.283.606,38 |
22 | Bank Dewa Rutji | 529.387.143.330,73 |
Keterangan : FSBPUK: Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus
.rm160
Bank-Bank yang Mengajukan Permohonan SBPUK No | Nama Bank | Surat Permohonan | Tanggal Permohonan | Jumlah yang Diminta (dalam Rupiah) | |
1 | Tiara Asia | 146/BTA-CS/XII/97 | 29-12-97 | 450.665.000.000,00 | |
2 | Aken | 013/BA-DIR/XII/97 | 24-12-97 | 129.540.000.000,00 | |
3 | Aspac | 236/SK-BI/XII/97 | 26-12-97 | 1.270.516.138.964,04 | |
4 | Lautan Berlian | 282/DIR/1297 | 26-12-97 | 181.356.500.000,00 | |
5 | Hokindo | 211/DIR/97 | 26-12-97 | 115.000.000.000,00 | |
6 | BIRA | 570/Dir/XII/1997 | 26-12-97 | 722.116.375.263,00 | |
7 | Kredit Asia | 421/BKA-KPU/DIR | 26-12-97 | 97.929.921.925,00 | |
8 | Patriot | 38.339/BP/DIR/XII/1997 | 26-12-97 | 18.250.000.000,00 | |
9 | Dewa Rutji | 016/DIRUT-XT/XII/1997 | 26-11-97 | 679.323.000.000,00 | |
10 | Baja Int'l | 223/BB/DIR/XII/1997 | 26-12-97 | 59.201.600.000,00 | |
11 | Deka | 2803.KD.0.97 | 26-12-97 | 150.000.000.000,00 | |
12 | Nasional | 1203/PRE/SEC/E.04/97 | 26-12-97 | 251.248.000.000,00 | |
13 | Dharmala | 206/Corp Leg/XII/97 | 26-12-97 | 106.000.000.000,00 | |
14 | Tata | 315/DIR-BTT/12/97 | 26-12-97 | 247.530.851.123,00 | |
15 | PSP | DIR/0332/XII/97 | 26-12-97 | 436.811.000.000,00 | |
16 | Kharisma | 443/DIR-BK/12/97 | 24-12-97 | 60.000.000.000,00 | |
17 | Komersil | 304/DIRUT/XII/97 | 24-12-97 | 374.000.000.000,00 | |
18 | Papan Sejahtera | 0149/DIR/XII/97 | 26-12-97 | 702.300.000.000,00 | |
19 | Sewu Int'l | 075/L-di/SIB/XII/97 | 24-12-97 | 86.715.000.000,00 | |
20 | Nusa Int'l | 1338/DIR/XII/97 | 24-12-97 | 381.000.000.000,00 | |
21 | Alfindo | 057/DIR/XII/97 | 23-12-97 | 14.346.670.000,00 | |
22 | BDNI | 161/DIR/12/97 | 26-12-97 | 6.270.000.000.000,00 | |
23 | BUN | DIR/177/1997 | 29-12-97 | 1.700.000.000.000,00 | |
24 | Intan | 243.DIR.EKS | 29-12-97 | 175.499.564.989,00 | |
25 | Pelita | 059/BD/BB/XII/97 | 23-12-97 | 567.545.429.407,00 | |
26 | Modern | 039/BT-DIR/MB/XII/97 | 19-12-97 | 1.445.131.600.270,00 | |
27 | Danamon | R.1009-DIR | 29-12-97 | 10.347.000.000.000,00 | |
28 | Utama | DIR.691/97 | 26-12-97 | 500.000.000.000,00 | |
29 | Centris Int'l | 055/DIR-BCI/BI/XII/97 | 26-12-97 | 546.796.421.299,00 | |
Jumlah | 28.285.823.073.170,00 |
Sumber : Audit BPK-RI bidang BLBI
KOMPAS Selasa, 14-03-2000. Halaman: 15
0 komentar:
Posting Komentar