Sabtu, 30 Januari 2010

Ringkasan Pengumuman Panja BLBI - 2

KRONOLOGI PENYALURAN BLBI
DENGAN BUNTUT PENYELEWENGAN
Ringkasan Pengumuman Panja BLBI (Bagian III)
TULISAN pertama dan kedua dari ringkasan pengumuman Panitia Kerja DPR tentang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), berisikan indikasi ditemukannya penyimpangan dalam penyaluran BLBI. Berikut ini ringkasan lanjutan yang berisi latar belakang dan kronologi pengucuran BLBI, yang berbuntut pada penyelewengan itu.
PADA bulan Juli 1997, terjadi gejolak rupiah sebagai akibat ambruknya nilai mata uang baht Thailand, yang melahirkan (contagion effect-efek negatif yang merembes ke negara lain yang dianggap memiliki fondasi ekonomi yang sama rapuhnya).

Untuk menghadapi tekanan eksternal itu, oleh BI diambil langkah-langkah untuk meredakan dahsyatnya gejolak kurs mata uang. Langkah itu termasuk dengan melebarkan rentang intervensi kurs, pengetatan likuiditas dan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI), penghentian sementara transaksi surat berharga pasar uang (SBPU) dari bank-bank oleh BI, dan lainnya. Pada saat itu, kondisi bank secara umum terlihat cukup sehat, meski sudah ada yang mengalami bangkrut, belum bergejolak.
Namun di bulan berikutnya, pemerintah melepaskan sistem kurs mengambang terkendali (manage floating) itu dan mencanangkan sistem kurs mengambang bebas (free floating). Tujuannya, menyelamatkan cadangan devisa.
Bulan September 1997, indikasi menguatnya nilai rupiah membuat kelonggaran likuiditas di masyarakat. BI menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali, yaitu dari 3 persen sampai 2 persen. Menkeu juga mengumumkan 10 langkah konkret pemulihan ekonomi, antara lain penjadwalan sejumlah proyek yang dibiayai APBN. Pemerintah menghapuskan batas porsi asing dalam saham transaksi perdana.
Namun rumours di masyarakat semakin santer beredar, terutama mengenai bank-bank besar yang kalah kliring, rugi dalam transaksi valas, larinya beberapa bankir ke luar negeri, penculikan pemilik bank dan lain-lain membuat kepercayaan masyarakat terhadap bank mulai goyah dan terjadinya rush.
Pada tanggal 3 September 1997, pemerintah mengeluarkan kebijakan BLBI. Pemerintah menugaskan Menkeu dan Gubernur BI agar mengambil langkah, agar bank yang sehat yang mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara dibantu.
* * *
MEMASUKI Oktober 1997, memburuknya perekonomian memaksa pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam rangka stand by arrangement untuk memperoleh bantuan finansial sekaligus meminta persetujuan dalam kebijakan restrukturisasi perbankan. Permintaan bantuan kepada IMF menunjukkan pengikatan diri kepada syarat-syarat yang ketat yang diberlakukan IMF.
Pada tanggal 30 Oktober 1997, letter of intent (LoI) dari pemerintah ke IMF diteken Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI J Soedradjad Djiwandono. Yang menonjol dalam LoI tersebut adalah pencabutan izin 16 bank swasta, 3 November 1997.
Berkaitan dengan kesepakatan itu, Pemerintah Indonesia mendapatkan paket bantuan IMF senilai 40 milyar dollar AS termasuk juga senilai 17 milyar dollar AS dari negara-negara lain (second line of defence). Inti pokok dari dari paket bantuan IMF antara lain mengenai restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetatan likuiditas dan kenaikan tingkat bunga.
Sebagai pelaksanaanya, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 40 Tahun 1997 sebagai revisi PP 68 Tahun 1996 mengenai likuidasi bank. Ketika itu mulai bermunculan edaran gelap daftar bank yang akan ditutup, sehingga menyebabkan masyarakat berbondong-bondong menarik dananya. Saat itulah terjadi lagi rush dalam jumlah yang jauh lebih besar. Seliweran mobil dari dan ke BI untuk urusan pengambilan uang kertas-antara lain bergambar wajah jenderal yang tersenyum (the smiling general-pun hingar bingar).
Pada bulan November 1997, rumours kembali merebak dalam bentuk selebaran, yang menyebutkan adanya likuidasi tahap kedua, setelah likuidasi 16 bank. Isu tersebut menyebabkan terjadinya rush. Kondisi tersebut, menyebabkan bank-bank meminta bantuan likuiditas BI dalam kapasitasnya sebagai lender of the last resort.
Sementara pelarian dana ke luar negeri (capital flight) terus berlangsung terutama dana panas yang berjangka pendek dan bersifat spekulatif.
* * *
BULAN Desember 1997, diberhentikan empat orang direksi BI, yaitu Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo, Paul Soetopo dan Mansjurdin Nurdin. Pemberhentian itu diikuti dengan pemeriksaan polisi terhadap ketiga mantan direksi, kecuali Mansjurdin Nurdin. Di samping pemeriksaan terhadap tiga direksi tersebut, polisi juga memanggil puluhan direktur bank swasta. BI kemudian mengangkat Miranda S Goeltom dan Aulia Pohan sebagai penggantinya.
Tak pelak, rush pengambilan dana simpanan nasabah meningkat. begitu juga pelarian modal ke luar negeri, dengan dalih flight to safety dan flight to aquality. Banyak bank yang awalnya masih sehat akhirnya menjadi tidak sehat.
Pada awal Desember 1997, masalah SBPU Khusus sudah dibahas oleh BI bersama bank penerima. Pertimbangan BI karena makin banyaknya bank yang mengalami saldo debet cukup besar. Bank-bank tersebut kemudian dipanggil oleh BI untuk melakukan pertemuan dan membicarakan SBPUK. Pada tanggal 9 Desember 1997, dilakukan pertemuan antara BI dengan Bank Danamon di kantor BI.
Berdasarkan risalah pertemuan tersebut, terungkap pembicaraan direksi BI, yang diwakili oleh Mukhlis Rasyid, Puspo Sungkowo dan Nelson Tobing. Sedangkan dari pihak Bank Danamon yang hadir antara lain Ninie Narwastu Admajaja, Okkie Sugiri, Soesilo Utomo dan Agus Gunawan. Pertemuan tersebut akhirnya menyetujui Bank Danamon menerima SBPUK sekitar Rp 6 trilyun.
Padahal, baru tanggal 27 Desember 1997, mantan Presiden Soeharto memberikan persetujuan atas usul direksi BI sehari sebelumnya. Usulan itu untuk mengkonversikan saldo debet beberapa bank yang punya harapan sehat ke dalam SBPUK.
Pada bulan Desember itu juga, terjadi lonjakan penyaluran BLBI yang signifikan menjadi Rp 66 trilyun dan meningkatnya kurs dollar AS sebesar kurang lebih Rp 5.000. Kurs itu melejit lagi pada Januari 1998 menjadi Rp 15.000 per dollar AS, sebuah angka yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kondisi itu memberikan indikasi bahwa rush penarikan BLBI berkaitan dengan kenaikan kurs dollar AS di samping dampak dari likuidasi 16 bank.
Pada saat itu, ada 31 bank yang diusulkan mendapat fasilitas SBPUK, dengan dua kualifikasi di luar status klasifikasi IMF dan dalam status IMF. Bank-bank di luar status klasifikasi IMF, adalah BDNI, Bank Modern, Bank Asia Pacific, Bank Bira, Bank Pelita, Bank Papan Sejahtera, Bank Tiara Asia, Bank Centris Internasional, Bank Utama (Pesona), Bank Tamara, Bank Uppindo, Bank Istismarat Indonesia, Bank Nasional, Bank Tata, Bank Nusa Internasional, Bank Deka, Bank Hokkindo, Bank Sewu, Bank Baja Internasional, Kharisma Bank dan Bank Alfindo.
Sementara bank dalam status IMF adalah Bank Danamon Indonesia, Bank Dewa Rutji, Bank PSP (intensif supervision), Bank Surya, Bank Subentra, Bank Aken, Bank Patriot, Bank Perniagaan, Bank Intan, dan Bank Lautan Berlian.
Memasuki Januari 1998, pemerintah mengumumkan anggaran tahun fiskal 1998-1999 dengan peningkatan sebesar 32,1 persen dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 4 persen, inflasi 9 persen dan kurs rupiah Rp 4.000 per dolar AS. Akan tetapi, soal RAPBN tetap tidak mendapat kepercayaan pasar.
Pemerintah juga melakukan penandatanganan supplement LoI, yang pertama kalinya langsung ditandatangani oleh Presiden Soeharto di hadapan Michel Camdessus. Penandatanganan itu tidak dihadiri oleh Menkeu dan Gubernur BI, yang pada penandatanganan LoI sebelumnya ditandatangani oleh mereka. Ketidakhadiran itu menyebabkan dugaan adanya keretakan antara Presiden dengan Menkeu dan Gubernur BI, sebagai dampak dari penutupan 16 bank.
Dibentuk pula Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPK-EK), yang langsung dipimpin oleh Presiden, 15 Januari 1998, makin memperkuat dugaan itu. Dengan demikian, kendali perekonomian langsung ditangani presiden. Apalagi saat munculnya ide penerapan Currency Board System (CBS) digulirkan.
Kemudian pemerintah merevisi RAPBN 1998/1999 lagi dengan sejumlah asumsi yang juga berubah. Namun, indikator moneter maupun perbankan memburuk. Hal itu tercermin dari nilai tukar rupiah yang makin melemah, ketatnya likuiditas, tingginya suku bunga dan kredit bank bermasalah. Pada tanggal 22 Januari nilai rupiah mencapai Rp 17.000 per dollar. Dari sebatas ide, CBS ditindaklanjuti dengan mengudang Prof Steven Henky, pakar CBS.
Sementara letter of credit (L/C) perbankan nasional di luar negeri termasuk impor bahan-bahan baku dan barang modal, ditolak dan berakibat macetnya sektor riil. Kondisi mendorong peningkatan likuiditas.
Dalam restrukturisasi perbankan dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyehatan perbankan dan memberikan independensi pada BI.
* * *
PADA tanggal 26 Januari 1998, pemerintah mengeluarkan Keppres No 27 tentang penjaminan pemerintah atas simpanan pihak ketiga yang ada di bank-bank nasional (tidak termasuk bank campuran dan bank asing).
Maksud dari program penjaminan adalah untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Sebelum keluarnya Keppres tersebut, penarikan dana masyarakat masih sangat tinggi. Direksi BI pun masih memberikan kelonggaran penarikan dana BLBI oleh bank-bank penerima.
Salah satu contoh kebijakan, direksi BI Iwan Ridwan Prawiranata dan Aulia Pohan yang memberikan persetujuan penyediaan remise ke kantor-kantor cabang BDNI tanggal 20 Januari 1998. Padahal saat itu kondisinya sedang bersaldo merah, namun telah menerima SBPUK atas dasar pengajuan dari pengawas bank eksekutif senior, yaitu M Ali Said Kosim.
Pemerintah saat itu, juga membentuk Tim Penanggulangan Masalah Utang-utang Swasta (TPMUSI), yang diketuai oleh mantan Menko Radius Prawiro. Tim itu mengumumkan pilihan bebas (free choice) dalam pembayaran utang luar negeri, bagi yang mampu membayar dipersilakan jalan terus. Sedangkan bagi yang tidak mampu dicarikan jalan melalui negosiasi kreditor-kreditor dengan tim sebagai fasilitator.
Pada saat itu, terdapat perubahan direksi BI. Iwan R Prawiranata diangkat menjadi Direktur BI.
Pada Februari 1998, Menkeu Mar'ie Muhammad mempersiapkan penerapan CBS. Sedangkan TPMUSI mengadakan pertemuan formal dengan komite pengarah dari pihak kreditor untuk memecahkan problem utang swasta. Pada tanggal 8 Februari 1998, Menkeu mengeluarkan surat keputusan bernomor S.84/MK/1998 dan Surat bernomor S.114/MK/1998 tanggal 20 Februari 1998 untuk memberikan persetujuan agar simpanan dana pihak ketiga yang ada di 16 bank dilikuidasi dan dapat dilakukan pembayaran sepenuhnya. Keputusan ini mengubah keputusan sebelumnya.
Maret 1998, ketika kondisi politik makin tidak menentu, IMF menunda pencairan tahap kedua senilai 3 milyar dollar AS, yang seharusnya dicairkan pada 15 Maret 1998 karena Soeharto dinilai IMF mbalelo terhadap kesepakatan reformasi ekonomi.
Pada Sidang Umum MPR, MPR kembali mengangkat Presiden Soeharto ketujuh kalinya dan Wapres BJ Habibie. Pemerintah Soeharto kemudian mengangkat Fuad Bawazier sebagai Menkeu, sedangkan Syahril Sabirin tetap ditunjuk sebagai Gubernur BI.

0 komentar:

Posting Komentar